Berapa kali dalam sehari kami mengutukmu?
Berapa kali dalam sehari kami menghiraukanmu?
Berapa kali dalam sehari kami menghakimimu?
Berapa kali dalam sehari kami mengejekmu?
Berapa kali dalam sehari kami menertawakanmu?
Berapa kali dalam sehari kami membohongimu?
Sungguh tak terhitungkan….
Bapak, Ibu guru..
Ketahuilah,
setiap kali engkau mengajar, kami menyesal sering menghiraukanmu, padahal begitu banyak hal berharga dan bermanfaat didalamnya. Aku menyesal.
setiap kali engkau mengajar, kami menyesal sering menghiraukanmu, padahal begitu banyak hal berharga dan bermanfaat didalamnya. Aku menyesal.
Setiap kali engkau marah karena salah yang
kuperbuat, aku menyesal mengutukmu dalam hati dan ‘dibelakangmu’ bersama
teman-teman yang lain. Aku menyesal, karena baru aku sadar, memang itu
salahku dan sepantasnya dimarahi.
Aku menyesal telah menilai masing-masing dari
kalian. Aku ini bukan siapa-siapa, untuk menentukan siapa yang baik,
siapa yang jahat, siapa yang harus dijauhi dan sebaliknya. Padahal,
kalian semua adalah baik adanya. Dan segala sikap yang kalian perbuat,
adalah bagian dari tugasmu mendidik kami demi kebaikan kami,
anak-anakmu.
Ketika ditanya dan aku menjawab bual agar aman dari masalah, aku menyesal. Seharusnya aku jujur dan tidak berbohong.
Begitu banyak, kesalahan kami, yang telah
kami perbuat. Hingga sejuta maaf pun tidak akan cukup. Begitu banyak,
hal yang tak kalian ketahui yang seharusnya tak kami perbuat.
Ketahuilah, Pak, Bu, kami ini, bukan
siapa-siapa, tadinya. Kami ini ibarat sebuah cangkir kosong yang
retak&kotor, dan akan dibuang. Dan engkau adalah orang yang
membersihkan dan mengisi cangkir jelek itu dengan air teh yang manis
sehingga cangkir itu bermanfaat adanya, walaupun terkadang teh-nya
terlalu panas.
Ya, kalian mendidik kami menjadi orang yang baik, dan berguna bagi orang lain. Sungguh mulia kerjamu.
Ketika banyak orang yang telah berjuang untuk
kami berharap balas jasa yang setimpal, bayaran yang kalian harapkan
atas kerja kerasmu pada kami hanyalah sebatas kelulusan, tidak akan
lebih dari itu. Itupun demi kebaikan kami, bukan dirimu, wahai pahlawan.
Baru ku sadar sungguh mulia dirimu.
Namun ketahui lah, kami ini diam-diam
mengidolakanmu, bukan kamu, tapi kalian, satu persatu dari kalian, para
pahlawan tanpa tanda jasa. Kami ternyata memperhatikan gerak-gerik mu,
satu persatu kami sungguh mengetahui. Kami ini pemujamu. Hatiku belum
yakin, aku sudah bisa menjalani hari-hariku tanpa menjabat tangan,
melihat senyum, dan mendengar suaramu, Pak, Bu. Bukan lebay, tapi ini
kekhawatiranku.
Terimakasih ya, Pak, Bu atas pelajaran berharga yang telah kau ajarkan pada kami.
Terimakasih ya, Pak, Bu karena telah mendidik dan mengajar kami sebagai modal bagi kami agar menjadi orang yang berguna nantinya
Terimakasih ya, Pak, Bu karena telah membersihkan hati dan pikiran kami sehingga kami baik adanya
Terimakasih ya, Pak, Bu atas pekerjaan mulia yang telah kau pilih
Satu hal lagi, aku ini bukan sastrawan, tapi tulisan ini bisa jadi, semua karena hati ini yang berbicara..
Aku, kami, berjanji. Jasamu dalam hidup ini
tidak akan terlupakan. Ingat, aku hari ini adalah cangkir yang tadinya
kotor&kosong namun telah kau isi dengan air teh dan pada nantinya
akan dinikmati banyak orang.
Terimakasih, pahlawanku
Source:Arita Gloria Zulkifli
0 komentar:
Posting Komentar